Wednesday, December 28, 2016

Menutup Pintu Penjara untuk Ahok



Puluhan ribu orang yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) melakukan demonstrasi atau ‘Aksi Bela Islam III’ di Monumen Nasional, Jakarta, Jumat (2/12).
Saat ini, sebagian mereka berangsur-angsur pulang ke tempat masing-masing.

GNPF MUI pagi tadi mengisi aksi dengan pemberian tausiyah, zikir dan doa. Sekitar 22 ribu personel gabungan TNI dan Polri dikerahkan untuk mengawal aksi tersebut.

Berlangsung damai, aksi tersebut bertujuan mendesak aparat penegak hukum untuk menahan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Pernama alias Ahok.

Polisi telah menetapkan Ahok sebagai tersangka, Rabu (16/11), dalam kasus dugaan penistaan agama saat menyitir surat Al Maidah ayat 51 di depan warga Kepulauan Seribu.

Ahok dijerat pasal 156 dan pasal 156a KUHP. Aturan itu berisi larangan mengeluarkan pernyataan yang mengandung permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, di muka umum.

Hingga kini, mantan Bupati Belitung Timur itu masih menghirup udara bebas. Saat proses penyidikan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, polisi memutuskan tidak menahan Ahok.

Padahal, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Muhamad Zaitun Rasmin, dalam sejarah kasus hukum penistaan agama, seorang tersangka selalu ditahan. Jika Ahok tidak ditahan, kata Rasmin, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan dan kepastian hukum di Indonesia.

Tito menjawab. Menurutnya, Ahok tidak ditahan karena kooperatif, tidak akan melarikan diri dan sedang menjadi calon gubernur.

Alasan Tito merujuk pada Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa terdapat alasan subjektif dan objektif seorang tersangka atau terdakwa ditahan.

Alasan subjektif adalah adanya kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan tindak pidana. Alasan objektif adalah diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Lagi-lagi, saat perkara naik ke Kejagung, Ahok tidak ditahan dengan alasan yang mirip-mirip. Kepala Pusat Penerangan Umum Kejagung Muhammad Rum mengungkapkan, empat alasan Ahok tak ditahan.

Pertama, Kejagung memiliki standar operasi prosedur yaitu jika penyidik polisi tidak menahan tersangka maka jaksa pun akan melakukan hal yang sama.

Kedua, penahanan Ahok bukan merupakan keharusan. Ketiga, Ahok sebagai tersangka kooperatif menjalani proses hukum. Keempat, materi dakwaan Ahok akan disusun secara alternatif.

Oper Bola Panas

Setelah ditetapkan menjadi tersangka, hanya dalam dua minggu polisi menyelesaikan berkas penyidikan, barang bukti dan memeriksa Ahok. Polisi pun menyerahkan perkara Ahok ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Kamis (1/12).

Seakan tak ingin memegang bola panas terlalu lama atau hanya hitungan jam, Kejagung, lewat Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, langsung menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Kini, PN Jakarta Utara akan mempelajari berkas, setelah itu menunjuk majelis hakim, dan akhirnya mengagendakan sidang Ahok.

“Nanti akan diberkaskan dulu semua, kemudian oleh kepaniteraan diserahkan ke bapak ketua pengadilan. Nah baru setelah dipelajari dan menurut pengadilan itu adalah kewenangan pengadilan,” kata Humas PN Jakarta Utara Hasoloan Sianturi.

Proses perkara Ahok pun sekarang berada di tangan pengadilan. Setelah semua proses administrasi selesai, dan persidangan digelar, perkara Ahok sepenuhnya milik hakim.

Di Tangan Hakim

Pertanyannya tetap sama, apakah masih ada peluang Ahok ditahan? Menurut pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, masih ada satu pintu menahan Ahok, yaitu keputusan hakim.

“Status Ahok jika masuk persidangan berubah menjadi terdakwa. Sekarang perkara menjadi kewenangan hakim. Hakim memiliki kewenangan penuh menahan atau tidak,” kata Fickar.

Fickar menjelaskan, seorang tersangka hingga terdakwa bisa untuk tidak ditahan. Keputusan penuh penahanan ada di tangan aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa dan juga hakim.

Kewenangan hakim menahan seorang terdakwa diatur dalam Pasal 193 ayat 2 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal tersebut berbunyi, “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu”.

Keputusan polisi menetapkan Ahok tersangka diakui Kapolri Jenderal Tito Karnavian melabrak telegram rahasia (TR) yang memerintahkan agar kasus-kasus hukum pasangan calon ditunda sampai pemilihan kepala daerah selesai.

Luhut Binsar Pandjaitan saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, tahun lalu, mengemukakan hal yang sama.

“Kemenko Polhukam meminta Kapolri dan Jaksa Agung untuk menunda kasus para calon kepala daerah sampai berakhirnya Pilkada Serentak,” kata Luhut dalam acara ‘Silaturahmi Menko Polhukam dengan pimpinan partai politik dalam rangka menyuarakan Pilkada serentak 2015’ di Hotel Borobudur, Jakarta, tahun lalu.

Soal ini, bisa jadi Ahok tak ditahan.

Walaupun demikian, Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay menjelaskan, proses penegakan hukum yang tak terkait pidana pemilihan tidak sepenuhnya diatur dalam UU tentang Pilkada dan UU Pemilu.

“Hal ini bukan mejadi otoritas penyelenggara pemilihan. Kalau memang harus ditahan atau tidak nantinya, penyelenggara pemilihan harus menghormati hal tersebut, sepanjang proses dan putusan yang dikeluarkan murni proses penegakan hukum,” kata Hadar.

Penahanan Ahok atau tidak, kata Hadar, tidak menghilangkan statusnya sebagai calon peserta pilkada. “Hak-hak yang masih mungkin diberikan harus diberikan dan dihormati.”

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.